Cari Sesuatu ?

Google

Tuesday, April 3, 2018

Episteme selalu berbicara dihoti (mengapa) bukan hanya hoti (tentang apa)


Dalam berpikir episteme pengetahuan tidak hanya mengajarkan kita berpeikira sekedarnya, atau aladarnya.  Episteme mengajarkan kita untuk menghindari Claim of truth yang hanya sepihak tanpa membiarkan otak manusia bersetuhan langsung  luas dengan horizon tanpa batas.
     Farancis Bacon memperigatkan kita, tak boleh menjadi manusia picik hanya berada didalam gua yang sepi dan zone terseteril lingkungan, namun harus membuka diri dengan daya nalarnya. Francis mengingatkan jangan seperti “katak dalam tempurung”, hindari idola sesat yang membuat pikiran terpuruk, hanya menjadi obyek, tapi tak menjadi obyek yang sekaligus subyek. The Idols of Cave, demikian kata Bacon, sebuah idola yang membuat karya pikir manusia tergurus pada pembenaran diri dengan super ego yang amat kental. Ketika kita menuruti pikiran itu, maka kemapuan dalam memahami fakta lemah, pemahaman logika acap sesat (fallacy), lalu analisis kita tumpul, dan pada akhirnya kemampuan evaluasi menjadi runyam. Inilah solipsistik atau dalam frasa Jawa dikenal dengan  nggungu karepe dewe” lalu menganggap dirinya paling benar  “ nggugu benere dewe”.
Kita diharapakan untuk tidak tidah berpangku pada “tentang” yang dalam bahasa Yunani tertulis “hoti”, namun kita harus selalu menanyakan lebih dalam yakni “mengapa” atau dalam bahasa Yunani “dihoti”. Itulah harapan episteme untuk berpikir secara radikal dan holistik.     
Bepikir radikal itu sesungguhnya akan menguliti sebuah masalah sampai akar-akarnya, tidak sekedar “surface” (permukaan), gali sedalam dalamnya. Benar kita tidak hanya ‘Quod” yang dalam bahasa latin berarti hanya perkir terbatas pada “tentang” saja,  seharusnya lepas dari keterkungkungan  ke arah “propter quod” yakni pola pikir yang terus menerus mengawal menuju kedalaman. Holisitik menyeluruh yang sangat diharapkan dalam berpikir kita, tidak atomistik alia terkotak kecil.
Orang Jawa dengan pikiran sederhana sering berucap, “jembarna pikiranmu” (luaskan pikiranmu:Jawa), lalu masih diikuti sikap rendah hati (humble).
Kemudian untungnya apa dalam epistemologi menyarankan berpikir sedalam-dalamnya? Tentu mengarahkan kita tidak mudah dan sepat memvonis, dan jauh dari sifat berbicara tanpa fakta, atau menggunjing karena data yang kering. Di sinilah episte menjadi sebuah metoda pengetahun untuk meneropong segala permasalahan selalu tidak terburu-buru.